BOBODORAN SANDIWARA
Pertunjukan reog itu terdiri dari dua bagian. Yaitu;
pertama berupa atraksi bodoran/lawakan sandiwara, dan kedua berupa drama yang
mengambil cerita dari kebiasaan masyarakat daerah tersebut. Pada saat
bersamaan, di daerah Jamblang Klangenan muncul pula sebuah kesenian yang lazim
disebut toneel (tonil) dengan nama Cahya Widodo. Kesenian ini setiap hari
selama berbulan-bulan melakukan narayuda (ngamen).
Kedua jenis kesenian tersebut kemudian mengilhami
seorang pemuda dari Kampung Langgen, Desa Wangunarja, Klangenan, Cirebon, yang
bernama Mursyid untuk mendirikan kesenian baru di daerah Cirebon. Mursyid
mengumpulkan para pemuda dari lingkungan sekitar untuk bersama-sama mendirikan
perkumpulan kesenian yang memadukan reog sepat dan tonil Cahya Widodo. Kesenian
ini adalah drama gaya Cirebonan dengan iringan musik yang didukung oleh waditra
berlaraskan prawa. Kesenian perpaduan itu dinamakan jeblosan yang, menurut
mereka, berarti “pertunjukan tonil tanpa layar tutup” (jeblas-jeblos; bahasa
Cirebon). Selain itu, ada pula yang menyebutnya Bungkrek (bahasa Cirebon yang
artinya bujang [pemuda] yang sering angkrak-engkrek [menari]).
Oleh karena jeblosan ini banyak dipengaruhi
ketoprak/tonil/stambul Cahya Widodo, maka tidak mengherankan apabila cerita
yang dibawakan pada waktu itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan
tetapi adakalanya cerita diambil dari cerita rakyat Jawa Barat tentang
asal-usul daerah atau dongeng-dongeng rakyat. Dalam perjalanannya, kesenian
jeblosan ini sangat digandrungi oleh masyarakat. Walaupun pada waktu itu
seluruh pemainnya kaum pria, namun mayoritas mereka adalah pejuang kemerdekaan.
Dalam kesenian inilah tercipta media penerangan sekaligus perjuangan melawan
penjajah melalui lakon-lakon yang dimainkannya.
Pada 1946 di Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon,
Cirebon berdiri pula kesenian sejenis dengan nama langendriyo, yang diprakarsai
oleh Suwandi dan Mursyid, Desa Barepan. Langendriyo dan jeblosan ini hampir
sama dengan tonil Cahya Widodo, meskipun ada perbedaan dalam bahasa
penyampaiannya. Pada langendriyo, cerita disampaikan dalam bahasa Jawa dan pada
jeblosan dipakai bahasa campuran antara bahasa Jawa Cirebonan dengan bahasa
Jawa.
Pada 1949 sarana langen jeblos mulai ditingkatkan,
yaitu menggunakan panggung. Nama jeblos diganti dengan langen perbeta yang
berarti lasykar (bahasa sandi), Persatuan Bekas Tentara. Dan pada tahun
lima-puluhan namanya diganti lagi dengan Sari Sasmita yang berfungsi sebagai
media penerangan. Kejayaan Sari Sasmita mulai terlihat. Dari malam ke malam,
pada setiap musim hajatan, kesenian tersebut tidak pernah istirahat memenuhi
undangan masyarakat penggemarnya.
Pada 1952 di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan,
berdiri pula kesenian sejenis dengan nama sanpro (sandiwara proletar). Pendirinya
adalah H. Abdullah, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala desa setempat.
Kemudian, pada 1956, berdiri pula perkumpulan sandiwara di daerah Bedulan, Desa
Suranenggala, Cirebon Utara, dengan nama yang dikenal sekarang, yaitu masres
(nama sejenis benang yang dipakai untuk membuat jaring ikan). Salah satu
pendirinya adalah Ibu H. Sami’i yang dikenal sebagai pesinden Cirebonan. Dan,
pada 1956, partai-partai politik mulai melirik kesenian sandiwara tersebut
untuk media kampanye bagi kepentingan masing-masing. Maka di Desa Bojong Wetan,
Kecamatan Klangenan Cirebon, para tokoh Partai Sosialisme Indonesia (PSI)
mendirikan perkumpulan seni sandiwara menggantikan sanpro dengan nama Setia
Budhi. Tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Suluh Budaya.
Sementara tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Dharma Bhakti.
Perkumpulan-perkumpulan ini hanya bertahan hingga tahun 1965 dan ketika meletus
Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) grup-grup ini bubar karena amukan massa
anti-PKI. Sejak saat itu fungsi sandiwara, juga kesenian-kesenian lain, tidak
lagi didampingi oleh kepentingan partai politik.
Pada tahun 1970-an sandiwara Cirebon mengalami masa
kejayaannya, karena banyak sekali yang menanggap kesenian ini. Maka tidak
mengherankan jika di daerah Cirebon saat itu banyak bermunculan kelompok/grup
sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sandiwara Cirebon hingga kini masih
hidup di masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Kehidupan kesenian ini tidak
terlepas dari dukungan para pendukungnya, yang masih membutuhkan seni
pertunjukan tersebut sebagai pengiring dalam upacara-upacara inisiasi, katarsis
dan simpatetik magis (perkawinan, khitanan, kaul, dan lain-lain).
Alat musik yang dipakai dalam sandiwara Cirebon
adalah gamelan pelog dengan waditranya antara lain bonang, kemyang, saron,
titil, penerus, gong besar dan kecil, kendang, dogdog dan ketipung, tutukan,
kenong (jenglong), kecrek, seruling, dan gambang. Dalam perkembangannya
belakangan ini, unsur-unsur musik modern ditambahkan, antara lain alat-alat
musik modern, seperti kibor dan gitar listrik. Sedangkan perlengkapan lain
dalam menunjang pertunjukan sandiwara Cirebon antara lain properti, layar, dan
dekor.
Dalam pertunjukan sandiwara Cirebon saat ini, banyak
ditampilkan cerita yang diambil dari babad Cirebon, seperti lakon Nyi Mas
Gandasari, Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bagus Rangin,
Pusaka Golok Cabang, dan lain-lain. Sekalipun demikian, sandiwara Cirebon
kadangkala menampilkan cerita dongeng atau legenda masyarakat Jawa umumnya,
terutama pada pertunjukan berlangsung siang hari. Namun pada malam hari, cerita
yang ditampilkan kebanyakan diambil dari babad Cirebon hingga tuntas menjelang
pagi. Oleh karena sifatnya yang egaliter, sandiwara Cirebon banyak
mempertunjukkan pula kemasan-kemasan musik dangdut Cirebonan, atau
kadang-kadang tayuban sebagai selingan dalam suatu lakon pertunjukan.
Pertunjukan sandiwara Cirebon pada malam hari biasanya dimulai pada pukul 20.00
dan selesai pada pukul 03.30 dinihari. Struktur pertunjukan sandiwara Cirebon
adalah sebagai berikut: musik pembuka (tatalu); adegan gimmick (surpraise dengan
trik panggung, berupa kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon
sandiwara; penutup, dengan musik dan epilog pimpinan sandiwara
Alat
musik yang dipakai dalam sandiwara Cirebon memakai gamelan
pelog, dimana beberapa jenis waditranya meliputi: bonang, kemyang, saron,
titil, penerus, gong besar dan kecil, kendang, dogdog dan ketipung, tutukan,
kenong (jenglong), kecrek, seruling, dan gambang. Dalam perkembangannya saat
ini, unsur musik ditambahkan beberapa peralatan musik modern diantaranya key
board dan gitar electric. Sementara perlengkapan lain dalam mengusung
pertunjukan sandiwara Cirebon meliputi property, layar dan dekor.
Dalam pertunjukannya saat ini banyak menampilkan
cerita yang diambil dari babad Cirebon, seperti ,lakon Nyi Mas Gandasari,
Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bagus Ran gin, Pusaka
Golok Cabang dan lain-lain. Sekalipun demikian, adakalanya sandiwara Cirebon
menampilkan cerita-cerita dongeng atau legenda masyarakat Jawa pada umumnya,
terutama pada saat pertunjukan berlangsung siang hari. Namun pada malam hari,
sajian cerita yang ditampilkan kebanyakan diambil dari babad Cirebon hingga
tuntas menjelang pagi. Oleh karena sifatnya yang egaliter, Sandiwara Cirebon
banyak mempertunjukan pula kemasan-kemasan musik dangdut Cirebonan, atau
kadang-kadang tayuban sebagai selingan dalam sebuah lakon pertunjukan.
Pertunjukan Sandiwara Cirebon pada malam hari biasanya dimulai pada pukul 08.00
- 03.30 pagi. Struktur pertunjukan sandiwara Cirebon meliputi; Musik pembuka
(tatalu); Adegan gimmick (surprise dengan trik panggung, berupa kembang api);
Tarian pembuka; Pertunjukan lakon sandiwara; penutup dengan musik dan epilog
pimpinan sandiwara.
Komentar
Posting Komentar