Sisingaan
Burokan
hanya ada di Kota Cirebon, maka dari itu
seni Burokan tidak banyak diketahui oleh orang-orang. Kesenian burokan berawal
dari sekitar tahun 1943, dari seorang penduduk di Desa Kalimaro Kecamatan
Babakan yang bernama Abah Kalil yang membuat sebuah seni, contohnya seperti
boneka-boneka berukuran besar atau yang disebut Burokan (Kuda Sembrani).
Kesenian
“Burok” adalah topeng cantik bermahkota
yang dimainkan oleh 2 orang, yang satu berperan sebagai tubuh bagian depan dan
yang lain menjadi tubuh bagian belakang. Dalam pertunjukannya kesenian burok
ini terdiri dari beberapa pemain lain, diantaranya Singa Depok, yaitu patung
singa yang diangkat oleh 4 orang. Sebagian orang juga ada yang menambahkannya
dengan kesenian barongsai dan music tradisional angklung. Kebudayaan ini
diadakan ketika ada pesta perayaan pernikahan,sunatan. Kesenian ini penting
karena atas syukur mereka terhadap sang kuasa, lalu orang-orang bisa menunggakan.
Kesenian Burok yang diiringi dengan music dan crew yang berjumlah lebih dari 15
orang, mereka di sewa sehari penuh dengan berkeliling dusun, ini dilakukan agar
anak yang sunat nanti naik punggungnya burok lalu diarak keliling RT dan RW,
warga desa akan tahu jika ada tetangganya di lingkungannya ada hajatan,
kesenian ini bisa mempunyai misi yakni, mengingatkan kepada warga tetangganya
untuk hadir di rumahnya yang punya hajatan, kedua sebagai tanda kegembiraan,
dimana si buah hatinya sudah di khitan.
Sisingaan
atau Gotong Singa (sebutan lainnya Odong-odong dan Sisingan Reog) merupakan
salah satu jenis seni pertunjukan rakyat khas Subang, Jawa Barat, yang
menggunakan media tandu sebagai sarana kreasi seni
Sisingaan
diciptakan sekitar tahun 1975 oleh para seniman sunda, karena mengingat
datangnya kesenian reog Ponorogo ke kota tersebut yang di bawa oleh kaum urban
dari Ponorogo. Setelah para seniman sunda berdiskusi dengan seniman reog yang
sangat berbeda dengan Reog Dog-Dog Sunda, bahwa reog dari Jawa Timur lebih
menarik perhatian dan memiliki nilai filosofi dan catatan sejarah melawan
kolonial Belanda, maka diciptakanlah sebuah kesenian yang mampu menunjukan
identitas khas Subang dari gagasan para seniman. Sisingaan diilhami dari cerita
serial Reog di Jawa Timur, yang menceritakan suka cita perjalanan para pengawal
raja Singa Barong dari kerajaan Lodaya saat menuju kerajaan Daha. Meskipun sang
raja terkenal bengis dan angkuh, tetapi para pengawal selalu setia memikul
tandu yang ditiduri oleh Raja Singa Barong. Selain itu sebagai lambang
perlawanan rakyat Subang terhadap kesewenangan Belanda yang di gambarkan
sebagai sosok singa pada lambang VOC, Hal ini bertujuan sebagai edukasi
pembelajaran sejarah yang menenangkan bagi para pelajar.
Dalam
perkembangannya, gotong singa atau sisingaan reog juga ditiru oleh kota lain
seperti Gotong Burok dari Cirebon, Gotong Domba dari Sumedang dan Garut yang
sama-sama menggotong hewan tiruan. Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada
200 buah Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival
Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan
jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi
peluang mengisi acara di tingkat regional, nasional, bahkan internasional.
Penyebaran
Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti Sumedang,
Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan
rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai
seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan
pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan
tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter,
serta ditambahkan dengan bunyibunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah
senapan.
Pertunjukan
Sisingaan
berasal dari Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Subang Kecamatan Purwadadi Desa
Neglasari. Sisingaan tersebut banyak yang berbagai jenis sisingaan yaitu naga,
elang, banteng, siluman, dan lain-lain. Lalu cara bermain sisingaan harus
membutuhan 4 orang untuk mengangkat sisingaan tersebut terus di iringin dengan
musik lalu mulai ikuti pergerakan sisingaan dengan hanya menggoyang kaki dan
badan, lalu bergoyang sambil berjalan menuju panggung pernikahan. kalau sudah
sampai ke tempat pernikahan lalu diam di tempat yang lega lalu ber'aktrasi,
tapi aktrasi tersebut harus exterim supaya penonton tersebut tertarik melihat
aktrasi sisingaan,
Pertunjukan
Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu
diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak
antara lain: pasang/kuda-kuda, bangkaret, masang/ancang-ancang, gugulingan,
sepakan dua, langkah mundur, kael, mincid, ewag, jeblag, putar taktak, gendong
singa, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melak
cau, nincak rancatan, dan kakapalan. sebagai seni helaran, sisingaan bergerak
terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke
tempat semula. Di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan
melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.
Penyajian
Pola penyajian
Sisingaan meliputi:
Tatalu
(tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan
Kidung
atau kembang gadung
Sajian Ibingan di antaranya solor, gondang, ewang
(kangsreng), catrik, kosong-kosong dan lain-lain
Atraksi atau demo, biasanya disebut atraksi
kamonesan dalam pertunjukan Sisingaan yang awalnya terinspirasi oleh atraksi
Adem Ayem (genjring akrobat) dan Liong (barongsai)
Penutup
dengan musik keringan.
Musik pengiring
Musik
pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain: Kendang Indung
(2 buah), Kulanter, Bonang (ketuk), Tarompet, Goong, Kempul, Kecrek. Karena
Helaran, memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh. Dalam
perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal maupun
instrumental) antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu
Gondang, Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat
Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong, dll.), Lagu
Gurudugan, Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam
Sisingaan tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan
Kliningan.
Pemaknaan
Ada beberapa
makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
·
Makna sosial,
masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri
mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis
seni rakyat yang muncul.
·
Makna teatrikal,
dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat
teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan
dan lain-lain.
·
Makna komersial,
karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme
munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa
untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan
mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni
bajidoran.
·
Makna universal,
dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang
Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat
habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul
bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
·
Makna Spiritual,
dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan (selamatan) atau
syukuran.
Komentar
Posting Komentar