SINTREN

Hasil gambar untuk foto sintren
Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat pesisir utara pulau Jawa. Pada wilayah budaya suku Cirebon, kesenian ini terkenal antara lain di wilayah kabupaten Subang, kabupaten Indramayu, kabupaten dan kota Cirebon, kabupaten Majalengka, kabupaten Kuningan dan kabupaten Brebes[1], bagi sebagian kalangan, kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis karena melibatkan pawan Sintren dan kemenyan yang identik dengan
benda-benda pada ritual mistis.
Asal mula nama sintren salah satunya berasal dari kata sindir (bahasa Indonesia: sindir) dan tetaren (bahasa Indonesia: pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair, sementara di wilayah kabupaten Indramayu kesenian ini disebut sebagai Lais (bahasa Indonesia: suci) yang kependekan dari nama asalnya yang dalam bahasa Cirebon dialek Indramayu disebut sebagai wari lais (bahasa Indonesia: air suci) yang dimaknai sebagai para pemuda dengan niat yang suci.
Pada awalnya sebelum terbentuk struktur sintren atau lais yang ada seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya, dahulu awal kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktivitas berkumpulnya para pemuda yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama setelah kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818, dalam cerita lisan masyarakat Indramayu dikenal nama Seca Branti yang dipercaya sebagai abdi pangeran Diponegoro yang berhasil lolos dari Belanda setelah kekalahan perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca Branti melarikan diri ke wilayah Indramayu disana dia bergaul dengan para pemuda dan suka membacakan sajak-sajak perjuangan, pada musim panen tiba disaat para pemuda sedang banyak berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan menyanyikan sajak-sajak perjuangannya. Aktivitas menyanyikan sajak-sajak ini kemudian diketahui oleh penjajah Belanda dan kemudian dilarang, Belanda hanya mengizinkan adanya sesuatu kegiatan yang diisi dengan pesta, wanita penghibur dan minuman keras. Kegiatan-kegiatan ini juga berusaha Belanda lakukan di dalam keraton-keraton Cirebon sebelum berakhirnya perang Besar Cirebon, bahkan para prajurit Belanda yang berada di kota Cirebon senang dengan kegiatan mabuk-mabukan diiringi dengan para penari Tayub[2]. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi digunakannya penari wanita sebagai kedok (bahasa Indonesia: topeng) dalam pertunjukannya sementara fokus utamanya tetaplah syair-syair yang diucapkan oleh dalang sintren yang didengarkan oleh para pemuda yang mengelilinginya, berlatih untuk memupuk rasa perjuangan. Oleh karenanya pada tahap ini sebagian kalangan menterjemahkan sintren sebagai sinyo (bahasa Indonesia: pemuda) dan trennen (bahasa Indonesia: berlatih) yang artinya pemuda yang sedang berlatih.
Pada tahap ini pola-pola sajak yang digunakan oleh para dalang sintren tidak berubah dari sajak-sajak tentang perjuangan, perbedaannya adalah digunakannya ronggeng buyung (penari wanita) pada pertunjukannya yang bertujuan untuk mengelabui penjajah Belanda.
Selain dari kisah perjuangan pemuda-pemuda Cirebon lewat syair-syair penyemangat dalam pagelaran sintren, kesenian sintren di Cirebon juga menampilkan lirik-lirik legenda romantisme antara Selasih dan Sulandana yang populer dikalangan masyarakat suku Jawa[3], hal tersebut dikarenakan letak Cirebon yang berdekatan langsung dengan tanah budaya Jawa mengakibatkan tingginya interaksi sosial antara suku Cirebon dengan suku Jawa.
Sintren seperti halnya kesenian Cirebon yang lainnya juga dipergunakan oleh para wali untuk menyebarkan dakwah Islam[4] dan mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, pada pagelaran sintren di wilayah kabupaten Cirebon, penari sintren yang dalam keadaan tidak sadar dan kemudian menari, ketika dilemparkan uang dengan jumlah berapapun akan mengakibatkan penarinya jatuh dan tidak bisa berdiri sendiri sebelum didirikan oleh dalang sintren, menurut Ki Mamat yang merupakan dalang sintren dari sanggar tari Sekar Pandan, kesultanan Kacirebonan, nilai-nilai dakwah Islam yang dibawa oleh pagelaran sintren adalah[5] ;
Ranggap (Kurungan Ayam), bentuk kurungan ayam yang melengkung berusaha mengingatkan pada manusia yang menyaksikan bahwa bentuk melengkung itulah bentuk dari fase hidup manusia dimana manusia dari bawah akan berusaha menuju puncak, namun setelah berada dipuncaknya manusia kembali lagi ke bawah, dari tanah kembali menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah akan kembali pada keadaan yang lemah pula.
Duit (Uang), uang yang dilempar membuat penari sintren langsung jatuh lemas bermakna di dalam kehidupan manusia jangan selalu mendahulukan duniawi, terlalu serakah ke duniawi akan membuat manusia jatuh.
Pada mulanya di pagelaran Sintren pakaian yang digunakan oleh penari sintren bukanlah baju golekseperti yang ada sekarang ini, pada masa lalu daerah-daerah dalam lingkungan budaya Cirebon masih seperti kabupaten Kuningan dan kabupaten Cirebon masih menggunakan kebaya sebagai pakaian utama penarinya sebelum dikemudian hari sebagian kelompok tari sintren mengubah pakaiannya menjadi baju golek. Struktur pertujukannya pun memiliki struktur yang berbeda-beda pada setiap desa yang memiliki kesenian Sinten, hal ini disebabkan adanya nilai-nilai lokal dan estika pertunjukan yang berusaha ditampilkan pada wilayah tersebut.
Pagelaran Sintren di kabupaten dan kota CirebonSunting
Pagelaran Sintren yang ada di wilayah kabupaten dan kota Cirebon sangat erat kaitannya dengan dakwah Islam dikarenakan dekatnya wilayah ini dengan pusat kesultanan Cirebon di kota Cirebon.
Pakaian dan alat musikSunting
Pada masa lalu diwilayah kabupaten Cirebon, busana yang digunakan oleh penari sintren berupa Kebaya untuk atasannya dengan kain batik Liris dan celana Cinde (celana yang panjangnya sampai ke lutut sebagai bawahannya serta Jamang (hiasan rambut), kaos kaki dan kacamata hitam sebagai pelengkapnya, tidak hanya itu, pada masa lalu alat musik yang mengiringi pagelaran sintren merupakan jenis-jenis alat musik yang terbilang sederhana, diantaranya adalah
Buyung, alat musik semacam gendang yang terbuat dari tanah liat dengan ditutup lembaran karet diatasnya. Penggunaan alat musik buyung inilah yang melatarbelakangi sebagian penari sintren pada masa lalu disebut sebagai ronggeng buyung (ronggeng yang diiringi oleh alat musik buyung)
Tutukan, alat musik yang terbuat dari bambu panjang dan besar yang pada masa sekarang disamakan fungsinya dengan alat musik bas.
Bumbung, alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu yang berukuran kecil yang pada masa sekarang disamakan fungsinya dengan gitar melodi atau sejenisnya.
Kendi, alat musik yang terbuat dari tanah liat yang berfungsi sama dengan gong.
Kecrek, alat musik yang berfungsi sebagai pengatur ritme nada.
Pada perkembangannya di masa-masa kemudian, baju penari sintren kemudian berubah menjadi mengenakan baju golek yakni pakaian yang mirip dengan yang dikenakan oleh wayang golek sebagai atasannya, namun bawahannya tetap menggunakan kain batik dan celana cinde serta masih menggunakan jamang, kaos kaki dan kacamata hitam sebagai pelengkapnya, perubahan tidak hanya terjadi pada bentuk pakaiannya saja, instrumen pengiringnya juga bertambah dari yang tadinya hanya berisikan buyung, tutukan, bumbung, kendi dan kecrek kemudian dilengkapi dengan penambahan instrumen gamelan Cirebon sebagai pelengkapnya.
Struktur pagelaranSunting
Struktur pagelaran kesenian Sinten yang ada di wilayah kabupaten dan kota Cirebon berusaha untuk memperlihatkan simbol-simbol pengajaran Islam kepada masyarakat dengan cara yang saksama pada setiap adegannya.
Adegan pembukaSunting
Pagelaran kesenian Sintren di wilayah kabupaten dan kota Cirebon biasanya dimulai dengan pesinden melantunkan syair,

Turun turun sintren (Datang-datang Sintren)
Sintrene widadari (Sintrennya Bidadari)
Nemu kembang yun ayunan (Nemu kembang hendak dibawa kemana?)
Nemu kembang yun ayunan (Nemu kembang hendak dibawa kemana?)
Kembange putri mahendra (Kembangnya putri Mahendra)
Widadari temurunan (Bidadari sedang datang)
yang diiringi dengan masuknya Ki dalang Sintren bersama penarinya, yang dilanjutkan dengan sintren yang diikat dengan rantai dan digulung dengan tikar, ujung tikar kemudian diarahkan ke Ranggap (kurungan ayam) agar penari Sintren tahu dimana posisinya, tidak seperti yang terjadi pada pagelaran Sintren di kecamatan Cibingbin, kabupaten Kuningan dimana penari Sintrennya dapat mengetahui letak Ranggapnya sendiri dan kemudian merangkak ke dalamnya, di Cirebon penari diarahkan menuju ranggap dengan cara memasukan ujung tikar kedalam Ranggap.
Adegan keluar Ranggap dan Syair Ya Robbana (Ya Allah swt)Sunting
Setelah penari Sintren yang ada di dalam Ranggap hendak keluar dari kurungan, maka pesinden melantunkan syair Ya Robana (Ya Allah swt) yang merupakan kutipan dari surat Al-Araf ayat 23 sekaligus ajakan untuk bertaubat seperti berikut,

Ya robbana, robbana, robbana (Ya Allah swt)
Ya robana zhalamna anfusana (Ya Allah swt kami telah menganiaya diri kami)
Wa inlam tagfirlana (dan jika engkau tidak mengampuni kami)
Wa tarhamna lanakunanna (dan tidak memberi rahmat kepada kami)
Min al-khosirin (niscaya, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi)
Kemudian penari sudah keluar dengan pakaian yang telah berubah, dari baju keseharian menjadi baju golek lengkap dengan batik, cinde, Jamang, kaos kaki dan kacamata.
Adegan lempar uangSunting
Setelah itu penari Sintren melakukan tariannya dan prosesi melempar uang pun dilakukan, pada proses ini ketika penari bersentuhan dengan uang yang dilempar masyarakat maka dia akan lemas tidak berdaya, yang memberikan pesan kepada masyarakat bahwa di dalam kehidupan manusia jangan selalu mendahulukan duniawi, terlalu serakah ke duniawi akan membuat manusia jatuh.
Adegan penutupSunting
Pada adegan penutup, setelah jatuh berkali-kali pada prosesi pelemparan uang, penari Sintren kemudian didudukan dan dikurung lagi dengan Ranggap, sementara pesinden melantunkan syair Kembang Kilaras.

Kembang kilaras ditandur tengahe alas (Kembang Kilaras ditanam ditengah hutan)
Paman bibi aja maras (paman bibi jangan khawatir)
Dalang sintren jaluk waras (dalang sintren sedang memulihkan keadaan)

Kembange srengenge surupe wayahe sore (Kembang matahari, menutupnya pertanda waktu senja)
Sawise lan sedurunge kesuwun ning kabehane (Sesudah dan sebelumnya, kami ucapkan terimakasih pada semuanya)
Pagelaran kemudian berakhir dengan dibukanya Ranggap oleh Ki dalang Sintren sementara penarinya telah kembali sadar dan berganti pakaian menjadi baju keseharian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASAL USUL KESENIAN BUROK

KETERKAITAN KESENIAN BUROK DENGAN AGAMA ISLAM

RAHWANA